Beranda | Artikel
Seri Faidah Ushul Tsalatsah [7]
Jumat, 7 Oktober 2016

Bismillah.

Kita berjumpa kembali dalam seri faidah dari kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Setelah menyampaikan tentang wajibnya berilmu, maka beliau pun menerangkan apa yang dimaksud dengan ilmu. Beliau berkata, “…Ilmu itu adalah mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil…”

Pada bagian sebelumnya telah kita bahas bahwasanya yang dimaksud dengan mengenal nabi-Nya adalah mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah penyampai ajaran Allah kepada umatnya. Mengenal nabi tidak berhenti pada mengenal nasabnya tetapi yang paling utama ialah beriman kepadanya, membenarkan berita yang beliau bawa, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, berhukum dengan syari’atnya, dan beribadah kepada Allah dengan mengikuti tuntunan/sunnahnya bukan dengan bid’ah-bid’ah.

Kemudian, beliau melanjutkan ‘dan mengenal agama Islam dengan dalil…’. Mengenal agama Islam melalui dalil. Yang dimaksud dalil itu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akhirat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85) (lihat al-Ushul fi Syarhi Tsalatsah al-Ushul, hal. 34)

Pengertian islam dalam makna umum adalah beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya semenjak Allah utus para rasul hingga datangnya hari kiamat. Hal ini menunjukkan bahwasanya semua ajaran nabi-nabi terdahulu adalah islam. Seperti yang dikisahkan mengenai doa Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami, jadikanlah kami muslim/orang yang pasrah kepada-Mu, demikian pula keturunan kami menjadi umat yang muslim/pasrah kepada-Mu.” (al-Baqarah : 128). Adapun islam dalam makna khusus ialah ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ajaran beliau menghapus ajaran syari’at terdahulu. Dengan demikian seorang muslim -di masa kini- adalah orang yang mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa tidak mengikuti beliau maka bukan muslim (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 20)

Hendaknya mengenal agama Islam ini dilandasi dengan dalil, bukan semata-mata taklid atau ikut-ikutan. Hakikat islam itu sendiri adalah kepasrahan kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan membersihkan diri dari segala bentuk syirik. Islam disebut dengan islam/pasrah karena di dalamnya terkandung sikap pasrah dan tunduk kepada Allah, taat perintah-Nya, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 12-13)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya; bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 49)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan -untuk dikonsumsi- dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu maka ia dibutuhkan -untuk dipahami, pent- sebanyak hembusan nafas.” (lihat Miftah Daris Sa’adah, 1/248-249)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun…” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah mengatakan, “Dengan ilmu itulah akan dikenali tauhid dan iman, dengan ilmu pula akan dimengerti pokok-pokok keimanan dan syari’at-syari’at Islam, dengan ilmu juga akan diketahui akhlak-akhlak yang luhur dan adab-adab yang sempurna, dan dengan ilmu itu pula manusia terbedakan satu dengan yang lainnya…” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 42)

Surga tidak akan bisa dimasuki dan diraih kecuali dengan bekal iman dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Masuklah kalian ke dalam surga dengan apa-apa yang telah kalian amalkan.” (an-Nahl : 32). Dan tidak ada jalan untuk mengenali iman dan amal salih kecuali dengan ilmu yang bermanfaat (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitab beliau Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 65)

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu adalah pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan tidak ada amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu. Karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu. Yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak -tanpa batasan atau embel-embel tertentu, pent- di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian juga dalam ucapan para ulama maka sesungguhnya yang dimaksud ialah ilmu syari’at. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu…” Maka ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syari’at (lihat Transkrip Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh beliau, hal. 6)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-ushul-tsalatsah-7/